Oleh : Eldy Satria Noerdin,S.H.M.H, Praktisi Hukum dan Dosen Universitas Dumoga Kotamobagu.
Penerapan prinsip dominus litis dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menimbulkan perdebatan serius di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Prinsip ini memberikan kewenangan utama kepada jaksa untuk mengendalikan perkara pidana, tidak hanya pada tahap penuntutan di pengadilan, tetapi juga dalam penyelidikan dan penyidikan. Hal ini berbeda dengan sistem yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini, yang mengadopsi prinsip diferensiasi fungsional antara polisi, jaksa, dan hakim. Dalam sistem ini, masing-masing lembaga memiliki peran dan kewenangan yang terpisah namun saling terkait. Pemberian kewenangan tambahan kepada jaksa melalui prinsip dominus litis berpotensi menciptakan ketimpangan kekuasaan, terutama antara jaksa dan polisi, serta meningkatkan risiko penyalahgunaan kewenangan.
Dalam sistem hukum campuran seperti Indonesia, jaksa sudah memiliki peran dominan dalam menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan ke pengadilan atau dihentikan. Pemberian kewenangan tambahan melalui prinsip ini dapat memperburuk ketimpangan ini, terutama dalam sistem yang menggabungkan elemen adversarial dan inquisitorial. Di negara-negara dengan sistem inquisitorial murni, seperti Prancis, jaksa memang memiliki kewenangan luas dalam penyidikan, termasuk mengarahkan pengumpulan bukti dan menentukan kelanjutan suatu perkara. Namun, sistem ini didukung oleh mekanisme pengawasan yang ketat, seperti peran hakim penyidik (juge d’instruction) dalam kasus–kasus serius, serta hierarki otoritas di bawah Kementerian Kehakiman. Sementara itu, di negara-negara dengan sistem adversarial seperti Amerika Serikat, peran jaksa lebih terfokus pada tahap penuntutan. Penyidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab polisi atau lembaga penyidik independen, meskipun jaksa dapat memberikan rekomendasi tentang bukti yang diperlukan. Selain itu, jaksa di AS memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan apakah suatu kasus akan diajukan ke pengadilan atau tidak (prosecutorial discretion), yang menunjukkan bahwa meskipun peran mereka terbatas dalam penyidikan, pengaruh mereka tetap signifikan.
Tanpa mekanisme pengawasan yang jelas, kewenangan besar yang diberikan kepada jaksa berisiko disalahgunakan. Herbert L. Packer, dalam teorinya mengenai proses hukum, menekankan pentingnya keseimbangan kekuasaan dalam sistem peradilan pidana. Dalam hal ini, dominasi yang berlebihan oleh satu lembaga, seperti jaksa, dapat mengurangi objektivitas dan independensi dalam penegakan hukum, sebagaimana tercermin dalam perbedaan antara Model Crime Control dan Model Due Process yang dia ajukan. Dalam konteks Indonesia, di mana beban kerja jaksa sudah sangat tinggi, pemberian kewenangan tambahan dapat memperburuk koordinasi antarlembaga dan meningkatkan risiko penyalahgunaan kewenangan. Selain itu, prinsip dominus litis juga berpotensi merusak transparansi dan akuntabilitas sistem peradilan pidana. Hans Kelsen, melalui Stufenbau Theorie, menekankan pentingnya hierarki dan spesialisasi peran dalam sistem hukum untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Penerapan prinsip ini tanpa pengawasan yang memadai dapat mengarah pada dominasi jaksa atas polisi, yang pada akhirnya merusak keseimbangan dalam sistem hukum.
Di sinilah konsep distribusi kekuasaan atau distribution of power (seperti teori pemisahaan kekuasaan yang dikemukaan Montesquieu, untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan pada satu lembaga) menjadi relevan. Dalam konteks hukum acara pidana Indonesia, distribusi kekuasaan antara polisi, jaksa, dan hakim dirancang untuk menciptakan keseimbangan dan mencegah dominasi satu lembaga atas lembaga lainnya. Jika jaksa diberi kewenangan terlalu besar melalui prinsip dominus litis, keseimbangan ini bisa terganggu, dan risiko penyalahgunaan kekuasaan akan meningkat. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap lembaga memiliki peran yang jelas dan saling mengawasi, sesuai dengan prinsip distribusi kekuasaan yang sehat.
Selain itu, teori Keadilan Prosedural (Procedural Justice) dari John Rawls juga memberikan perspektif penting. Rawls menekankan bahwa keadilan tidak hanya tentang hasil, tetapi juga tentang proses yang adil dan transparan. Dalam konteks penerapan prinsip dominus litis, proses hukum harus memastikan bahwa semua pihak, termasuk tersangka, korban, dan masyarakat, merasa bahwa keputusan yang diambil adalah adil dan tidak memihak. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dan partisipasi publik, prinsip ini dapat menciptakan ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan. Masyarakat mungkin merasa bahwa keputusan hukum hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, terutama mereka yang memiliki akses atau kekuasaan. Hal ini dapat semakin merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Di sisi lain, salah satu masalah utama dalam diskusi tentang RUU KUHAP adalah transparansi proses legislasi untuk mengakomodir partisipasi publik. Sampai saat ini, draft resmi RUU KUHAP yang terbaru belum dipublikasikan untuk umum, termasuk naskah akademiknya. Hal ini menyulitkan upaya untuk memberikan kritik yang konstruktif dan berbasis data. Meskipun beberapa draft lama sudah beredar, tidak ada jaminan bahwa draft tersebut mencerminkan versi yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketidakjelasan ini dapat mengarah pada diskursus yang tidak produktif dan berisiko menciptakan kesalahpahaman tentang substansi RUU KUHAP. Keterbukaan dalam proses pembuatan undang-undang harus menjadi prioritas, agar publik, akademisi, dan praktisi hukum dapat memberikan masukan yang berarti. Tanpa transparansi, apalagi tanpa partisipasi publik, sistem hukum akan sulit mendapatkan legitimasi yang kuat di mata masyarakat. Sebagaimana yang terjadi dalam proses legislasi UU Ciptaker.
Secara keseluruhan, penerapan prinsip dominus litis dalam RUU KUHAP perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Sistem peradilan Indonesia, yang tidak murni mengikuti sistem adversarial maupun inquisitorial, memerlukan keseimbangan antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa prinsip-prinsip dasar keadilan, transparansi, dan akuntabilitas menjadi pijakan utama dalam setiap keputusan yang diambil. Selain itu, RUU KUHAP harus menjalani uji publik yang transparan dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Keseimbangan kewenangan antara polisi, jaksa, dan hakim juga harus dijaga untuk memastikan keadilan dan efektivitas penegakan hukum.
Penerapan prinsip dominus litis dalam RUU KUHAP bukanlah langkah yang sederhana. Prinsip ini membawa potensi untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum, tetapi juga risiko serius terhadap keadilan dan akuntabilitas. Tanpa pengawasan yang memadai dan proses legislasi yang transparan, prinsip ini dapat merusak keseimbangan sistem hukum dan kepercayaan publik. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa RUU KUHAP dirumuskan dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan transparansi.
Disclaimer : Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi INFO62.NEWS