INFO62.News,Kotamobagu – Sahabu Mokodompit, seorang wanita berusia 57 tahun, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah begitu drastis setelah menjalani operasi katarak di salah satu Rumah Sakit swasta di Kotamobagu. Apa yang semula diharapkan sebagai jalan menuju kehidupan yang lebih baik, justru berakhir dengan mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan oleh siapapun.
Pada tanggal 28 Juni 2024, Sahabu Mokodompit yang sebelumnya mengeluhkan penglihatan kabur dan mengganggu aktivitas sehari-harinya, memutuskan untuk menjalani operasi katarak yang direkomendasikan oleh SBP alias Stev, selaku dokter di RS swasta wilayah Kotamobagu.
Seperti kebanyakan pasien lainnya, Sahabu yang merupakan warga Desa Muntoi, Bolaang Mongondow, berharap operasi tersebut akan mengembalikan penglihatannya yang kabur dan memudar, serta memberinya kesempatan untuk kembali melihat dunia dengan jelas.
Namun, setelah operasi selesai, harapan yang tumbuh dalam hati Sahabu Mokodompit seketika berubah menjadi kepedihan yang mendalam. Beberapa waktu setelah operasi, mata Sahabu Mokodompit bukannya pulih, malah semakin memburuk karena bernanah. Bukannya melihat dunia dengan lebih baik, Sahabu Mokodompit malah mendapati dirinya menjadi buta permanen. Sebuah kondisi yang sangat tragis, mengubah seluruh hidupnya dalam sekejap.
Kepedihan yang Berlanjut
Panik dan penuh rasa kehilangan, Sahabu Mokodompit dan keluarganya berusaha mencari penjelasan. Mereka kemudian memutuskan untuk melaporkan peristiwa ini ke pihak berwajib, mengajukan laporan malpraktik medis yang diduga terjadi akibat kelalaian dalam proses operasi. Dengan penuh harapan, mereka berusaha untuk mencari keadilan, berharap kasus ini akan mendapatkan perhatian yang layak.
Namun, apa yang mereka temui setelah itu adalah kenyataan yang jauh lebih pahit. Tiga bulan setelah laporan polisi diajukan, kabar yang diterima oleh keluarga Sahabu Mokodompit sangat mengejutkan. Polres Kotamobagu mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyelidikan Nomor B/05/I/Res.1.24/2025 tanggal 20 Januari 2025, yang isinya sangat mengecewakan: Terhitung mulai tanggal 9 Januari 2025, penyidikan dihentikan demi hukum, karena bukan merupakan tindak pidana.
“Bagaimana bisa ini bukan tindak pidana?” ujar Kahar Mokodongan, suami Sahabu Mokodompit, dengan suara terbata-bata. “Istri saya sekarang hidup dalam mata buta selamanya. Kami telah mengajukan laporan, kami percaya bahwa ada yang salah dalam operasi itu, tapi kami justru merasa ditinggalkan dan terabaikan.”
Tidak Ada Kejelasan, Tidak Ada Keadilan
Keputusan Penyidik Polres Kotamobagu untuk menghentikan penyelidikan ini membuat keluarga Sahabu Mokodompit merasa terhimpit oleh ketidakadilan. Dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan Nomor: B/614.b/I/Res.1.24/2025 tanggal 20 Januari 2025, penyidik Polres Kotamobagu menerangkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaaan Ahli yang menyatakan bahwa tindakan operasi yang dilakukan dokter sudah sesuai prosedur.
Padahal, bagi keluarga Sahabu Mokodompit, penderitaan yang mereka rasakan adalah kehilangan yang tidak tergantikan. Buta permanen bagi seorang wanita yang sebelumnya bisa menikmati dunia dengan penglihatannya adalah sebuah tragedi yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Sahabu Mokodompit tidak hanya kehilangan sebagian penglihatan, ia juga kehilangan bagian dari dirinya yang selama ini ia anggap sebagai hak dasar setiap manusia. Menghadapi dunia tanpa bisa melihat sempurna, ia kini harus menjalani hidup tidak seperti biasannya. “Gelap, saya tidak tahu harus bagaimana lagi,” ujar Sahabu Mokodompit dengan suara bergetar.
Apakah Keputusan Ini Mewakili Keadilan?
Kasus ini bukan hanya soal dugaan kelalaian medis atau kehilangan penglihatan. Ini adalah soal keadilan yang hilang. Ketika seorang pasien yang telah mempercayakan nyawanya kepada tenaga medis harus menghadapi kenyataan bahwa hidupnya berubah dalam sekejap, haruskah ia dibiarkan begitu saja tanpa kejelasan?
Dalam dunia medis, ada harapan bahwa setiap pasien yang menjalani prosedur medis—termasuk operasi katarak—akan mendapatkan hasil yang baik. Namun, jika kegagalan medis terjadi, apakah itu cukup untuk mengabaikan hak pasien atas keadilan dan pertanggungjawaban?
Ini adalah pertanyaan besar yang harus kita jawab bersama. Mengapa pasien seperti Sahabu Mokodompit harus menanggung beban penderitaan yang sangat besar, sementara di sisi lain, terduga pelaku kelalaian medis ini tidak mendapatkan pertanggungjawaban yang memadai?
Kehidupan yang Hilang, Perjuangan yang Terus Berlanjut
Keluarga Sahabu Mokodompit kini menghadapi kenyataan yang sangat pahit: mereka telah kehilangan bukan hanya kemampuan sebagian penglihatan Sahabu Mokodompit, tetapi juga rasa keadilan yang seharusnya mereka terima. Meski pihak kepolisian telah menghentikan penyelidikan, mereka tetap berjuang untuk memperjuangkan keadilan, berharap ada pihak yang mendengarkan suara mereka, yang kini terbungkam oleh ketidakpastian.
“Kami akan mengajukan keberatan kepada Kapolda Sulut sesuai ketentuan Perkap dan meminta gelar perkara khusus,“ tegas Depanan Simangunsong, kuasa hukum Sahabu Mokodompit.
Kasus ini adalah pengingat bagi kita semua bahwa kehidupan manusia tidak bisa dianggap remeh. Tindakan medis, terutama yang melibatkan operasi, bukan hanya soal prosedur, tetapi tentang tanggung jawab besar terhadap nyawa manusia. Ketika kegagalan terjadi, apakah itu bukan kewajiban untuk mencari keadilan?
Apakah ini yang kita sebut sebagai keadilan? Atau kita hanya menjadi saksi dari sebuah dunia di mana mereka yang seharusnya dilindungi malah terlupakan begitu saja?
Keluarga Sahabu Mokodompit kini tidak hanya kehilangan penglihatan, tetapi juga kepercayaan pada sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka.
Kehilangan Tidak Pernah Sederhana
Keputusan polisi untuk menghentikan penyelidikan ini adalah sebuah pukulan yang sangat berat. Namun, perjuangan keluarga Sahabu Mokodompit belum berakhir. Mereka masih memiliki harapan bahwa suatu hari nanti, kebenaran akan terungkap dan keadilan akan ditegakkan.
Karena dalam setiap tragedi, selalu ada kisah yang lebih besar tentang keberanian untuk melawan ketidakadilan.***